Tersebutlah
seorang ulama min awliyaillah di Kota Seiwun, salah satu kota di
Hadramaut, Yaman. Ulama tersebut bernama Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi.
Beliau lahir pada tahun 1259H/1839M dan wafat pada tahun 1333H/1913M. Beliau
juga terkenal dengan gelar shohibul mawlid Simthudduror karena beliaulah
yang mengarang kitab mawlid tersebut. Kitab maulid simthudduror ini berisi
syair syair tentang kisah perjalanan hidup dan pujian kepada Baginda Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam dengan bahasa yang indah dan penuh makna. Bagi
kalangan muhibbin, kitab mawlid Simthudduror tentu sudah tidak asing
lagi seperti halnya kitab-kitab mawlid yang lain seperti sholawat al-Barzanji,
Maulid ad-Diba’I, qosidah Burdah, dan kitab mawlid adh-Dhiya’ul Lami’.
Habib Ali terkenal
sangat kaya raya. Bahkan saking kayanya beliau pernah menanggung jatah makan
penduduk kota Seiwun selama 3 bulan berturut-turut saat sedang terjadi krisis
pangan (paceklik). Konon, yang beliau tanggung bukan cuma manusia saja tetapi termasuk
hewan-hewan ternak.
Suatu ketika,
saat sedang mengajar ada salah seorang santri jama’ah yang heran dengan
kekayaan beliau terbersit dalam hatinya “ulama kok cinta dunia”. Dengan
izin Allah, Habib Ali diberi kasyaf untuk bisa membaca bersitan hati santri
tersebut. Setelah pengajian selesai, didekatinya santri tersebut. Sambil tersenyum
Habib Ali berkata “ungkapkanlah apa yang terbesit di hatimu tadi”. Setengah
terkejut santri itupun menghaturkan permohonan maaf dan mengutarakan bersitan
hatinya “wahai Habib, mohon maaf jika saya telah suul adab. Tadi terbersit
di hati saya yang kotor ini perihal kekayaan dan kecintaan engkau pada dunia”.
Habib Ali menjawab kegalauan santrinya “bukan aku yang cinta dunia, tapi
dunia yang selalu mengejarku. Jika kau tak percaya tunggulah sebentar lagi”.
Tidak berselang lama datanglah seorang tamu dengan membawa hadiah setandan kurma
Oman. Zaman itu, kurma Oman adalah kurma terbaik yang hanya dimakan para raja
dan bangsawan.
Setelah tamu
tersebut berpamitan, Habib Ali pun menghadiahkan kurma tersebut kepada
santrinya. Santri tersebut menerima dengan sangat gembira. Sambil tersenyum Habib Ali
berkata kepada santrinya “pulanglah dan nikmatilah kurma ini”. Setelah
berterima kasih santri tersebut pun pamit diri. Sambil meletakkan kurma di atas
kepalanya, santri tersebut berfikir “sungguh kurma ini harganya sangatlah mahal.
Jika ku makan sendiri sangatlah rugi. Kalau ku jual pasti aku mendapat untung”.
Santri tersebut pun berbelok arah akan membawa kurma Oman tersebut ke pasar.
Di tengah
perjalanan santri tersebut bertemu dengan salah seorang sahabatnya yang juga
sama-sama santri Habib Ali. Kebetulan sahabatnya ini akan silaturahmi (sowan)
ke ndalem Habib Ali. Sahabatnya ini menyapa “ya akhi bagaimana
kabarmu? Kurma apa yang engkau bawa?”. Santri menjawab “Alhamdulillah
kabarku baik. Aku membawa kurma Oman dan akan ku jual ke pasar”. Sahabatnya
tertarik untuk membeli dan bertanya “berapa engkau akan menjualnya”. Si
santri menjawab “kalau engkau berkenan aku jual dengan harga lima juta”.
Dengan sedikit kaget sahabatnya menimpali “lima juta? Andai engkau jual di
harga sepuluh juta pasti orang-orang akan membelinya karena ini kurma Oman
jenis kurma para raja. Tapi karena engkau telah menyebut harga lima juta
baiklah aku beli dengan harga tersebut”. Santri berkata “tidak mengapa,
sebenarnya kurma ini juga hadiah dari seseorang dan aku sudah banyak mendapat
untung”.
Singkat cerita,
selesailah transaksi dan pertemuan dua orang sahabat tersebut. Sahabat santri
tersebut pun sampai di rumah Habib Ali dan menghadiahkan kurma Oman kepada
Habib Ali. Habib Ali berkata kepadanya “janganlah engkau terburu-buru untuk
pulang, tunggulah sebentar”. Sedangkan si santri ditengah perjalanan menuju
ke rumah terbersit di hatinya “aku mendapat untung atas hadiah dari Habib Ali,
suul adab jika aku tidak berterima kasih kepada beliau. Sebaiknya aku kembali
ke rumah Habib Ali untuk berterima kasih”. Dan santri pun berbelok arah
untuk kembali ke rumah Habib Ali. Sesampainya ia di rumah Habib Ali dengan sedikit
terperangah dilihatnya Habib Ali sedang menikmati kurma Oman yang telah dijual
kepada sahabatnya dan tersentak kaget karena mendengar sapa Habib Ali “bagaimana,
apakah sekarang engkau sudah percaya kalau bukan aku yang cinta dunia tapi
dunia yang selalu mengejarku? Kurma ini sudah ikhlas ku hadiahkan padamu tapi
ia tetap kembali padaku”. Sambil bermuka merah dan tertunduk malu santri
menjawab “na’am…shodaqta ya Habib (iya.....engkau benar ya Habib)”. Sedangkan sahabatnya yang tidak
mengerti permasalahan hanya bisa tolah-toleh ke arah Habib Ali dan ke arah
santri sahabatnya sambil garuk-garuk kepala karena penasaran.
Disempurnakan di Padukuhan Kupang Wetan, 13 Syawal 1445
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak