Selesai sudah ku baca "Mangir", naskah drama panggung tiga babak/tahapan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Tour (1925-2006). Pram seorang penulis kelahiran Blora Jawa Tengah. Pram salah seorang anggota LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) salah satu underbow Partai Komunis Indonesia yang bergerak di bidang seni dan kebudayaan. Pram juga mendapat anugerah Ramon Magsaysay Award pada tahun 1995 di bidang penulisan sastra dan jurnalistik.
"Mangir" selesai
ditulis Pram pada tahun 1976 saat ia
dibuang dan ditahan di Pulau Buru bersama para tahanan politik yang beraliran
kiri lainnya (baca; komunis) oleh Pemerintah Orde Baru. Mangir hanya salah satu
karya Pram saat di pembuangan karena masih ada karya lainnya yang justru lebih
terkenal yaitu Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari empat seri; Bumi Manusia
(1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Sebelum "Mangir" ditulis oleh Pram, sudah ada karya tulis lain yang menceritakan kisah Mangir yaitu Babad Tanah Jawi
dan Babad Bedhahing Mangir (mungkin masih ada naskah lain yang menceritakan
kisah Mangir, tetapi bukan keahlian penulis dibidang filologi sehingga
tidak mengetahuinya ✌) dan menyebar menjadi folklore
khususnya di masyarakat Jawa. Pram menulis kembali cerita Mangir dengan versi yang berbeda dari Babad Tanah Jawi dan Babad
Bedhahing Mangir. Pembaca tidak akan menemukan tulisan beraroma klenik, mistik dan ragam tahayul dalam "Mangir" versi Pram. Kita maklumi karena Pram yang
komunis sangat anti akan cerita-cerita klenik, mistik, dan tahayul. Jadi tidak diceritakan
kisah asal muasal dan keampuhan tombak pusaka Kyai Baru Kelinting karena Pram
menggantinya dengan sosok ahli strategi/siasat perang sekaligus sahabat setia pemimpin
daerah Mangir yang bernama Baru Klinting.
Drama "Mangir" berkisah tentang seorang pemimpin di daerah perdikan (daerah yang merdeka dari
pajak) yang bernama Mangir (sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul,
Yogyakarta). Nama aslinya Bagus Wanabaya. Karena memimpin daerah Mangir
peninggalan bapak dan kakeknya maka diberi gelar Ki Ageng Mangir Wanabaya atau Ki Ageng Mangir IV. Ki Ageng Mangir sendiri diceritakan Pram
sebagai seorang yang sangat anti feodalisme. Di Mangir tidak
ada budaya sembah sujud (sungkeman) antara rakyat terhadap pemimpinnya. Semua berdiri
sama tinggi duduk sama rendah. Begitu juga Ki Ageng Mangir yang merasa sebagai
orang bebas merdeka tidak mau tunduk dan sungkem kepada Panembahan Senopati
Danang Sutowijoyo selaku raja Mataram saat itu. Lagi-lagi sebagai seorang komunis yang anti feodalisme Pram sangat menyukai
cerita-cerita seperti ini. Tetapi "Mangir" tetap dengan substansi
cerita yang sama yaitu tentang pemberontakan, cinta, dan kematian.
Pemberontakan terjadi karena Ki Ageng Mangir menganggap Mangir lebih dahulu ada dari Mataram. Mangir adalah tanah perdikan yang diberikan oleh Majapahit, sehingga tidak pantas bagi Mangir untuk menjadi bawahan Mataram. Hal ini membuat Panembahan Senopati marah dan menganggap Ki Ageng Mangir telah makar sehingga Mangir harus di bumi
hanguskan. Beberapa
kali Mataram menyerang Mangir tetapi
selalu tidak berhasil mengalahkan Mangir. Hal ini lantaran Ki Ageng Mangir mempunyai ahli siasat yang
mumpuni yaitu Baru Kelinting serta bantuan dari beberapa orang demang yang masing-masing memiliki
daerah kekuasaan yaitu Demang
Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan.
Karena gagal menaklukkan Mangir,
Panembahan Senopati memakai cara licik yaitu dengan menjadikan putri cantiknya
yang bernama Sekar Pembayun untuk menjadi telik sandi yang bertugas
memata-matai aktivitas Ki Ageng Mangir. Pembayun memulai aktivitas sebagai telik sandi dengan
menyamar menjadi penari ronggeng dan mengganti nama menjadi Adisaroh. Ternyata takdir berkata lain. Berawal dari
sekedar telik sandi ternyata Pembayun justru jatuh cinta dan menikah dengan Ki
Ageng Mangir.
Setelah menikah, akhirnya
Adisaroh mengatakan yang sesungguhnya kepada Wanabaya bahwa sebenarnya dirinya
adalah Putri Sekar Pambayun anak dari Panembahan Senapati. Bukan main kesalnya
Wanabaya yang ternyata selama ini telah dibohongi oleh istri tercintanya
sendiri, sambil bersujud menangis Pambayun meminta maaf dan menyatakan rasa
penyesalan dan bersalahnya. Apa daya Ki Ageng Wanabaya, meskipun naik pitam tak
kuasa menahan amarahnya tetapi rasa cintanya pada Pembayun mengalahkan
segalanya.
Saat Pembayun
hamil, Panembahan Senopati pun
melihat peluang. Merasa sebagai mertua, diundanglah Ki Ageng Mangir bersama
istrinya sowan ke
Keraton Mataram untuk mendapat
restu. Singkatnya, sesampainya di Keraton Mataram bukan restu yang didapat
tetapi Ki Ageng Mangir Wanabaya harus mati meregang nyawa karena ditikam tombak
secara licik dari belakang oleh Joko Umbaran kakak Pembayun (versi Babad Tanah Jawi
diceritakan, saat Ki Ageng Mangir sungkem di kaki Panembahan Senopati, saat
itulah kepalanya dibenturkan hingga pecah ke batu gilang yang menjadi tempat
duduk Senopati. Sedangkan di versi Babad Bedhahing Mangir diceritakan
jika Panembahan Senopati menusukkan tombak Kyai Plered ke Wanabaya. Setelah Wanabaya
meregang nyawa barulah kepala dibenturkan ke batu gilang hingga pecah). Joko Umbaran sendiri merupakan anak pertama Danang Sutowijoyo dari istri pertama (Roro Lembayung putri dari Ki Ageng Giring) yang konon katanya diumbar (tidak diurus) dampak dari perjodohan pernikahan "politik" yang dipaksakan.
Berakhirlah sudah perjalanan
Perdikan Mangir di tangan Mataram, hanya tersisa Pambayun yang tengah bersedih
sambil memeluk jasad suami tercinta sang Tua Perdikan Mangir Wanabaya IV. Ibarat kata Chu Pat Kai “begitulah cinta, penderitaannya
tiada akhir” 😂.
Bagaimana nasib Pembayun??? Penghianat!!! itulah akhirnya gelar yang
disematkan pada Pembayun oleh bapaknya sendiri.
Ujung
Galuh, Padukuhan Kupang Wetan
Rabu Wage, 29 November 2023M / 15 Jumadil Awal
1445H