Penulis: Wahsun (Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda Kemdikbudristek)
Pandemi covid-19 mengakibatkan perubahan diberbagai bidang termasuk dalam bidang Pendidikan. Perubahan tersebut diantaranya adalah model pembelajaran yang semula bersifat konvensional terpaksa berubah menjadi daring dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Sisi baiknya para pendidik menjadi “tidak latah” lagi dengan teknologi. Guru-guru sudah mulai mengenal sarana-sarana belajar digital dan mencoba berimprovisasi memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran di kelas. Akan tetapi, karena sifatnya yang mendadak tentu implementasinya pun asal-asalan dan tidak terdesain dengan baik. Guru hanya sekedar buka aplikasi g-meet atau zoom dan memulai proses pembelajaran. Dengan kalimat lain, ruang kelas hanya berubah menjadi ruang daring, proses belajar tetap sama – guru menjelaskan, murid mendengarkan sambil mengantuk.
Selama masa pandemi, platform komunikasi yang paling banyak digunakan oleh guru adalah WhatsApp dalam pembelajaran online. Hal ini sebagaimana hasil survey penulis pada awal tahun 2020 dan berita hasil survey dapat dibaca pada laman BBPMP Provinsi Jawa Timur https://lpmpjatim.kemdikbud.go.id/site/detailpost/whatsapp-paling-diminati-untuk-pembelajaran-online. WhatsApp menjadi dominan karena mudah diakses karena guru dan siswa cukup membuka perangkat telepon genggam atau handphone. Lucunya, setelah pandemi Covid-19, pemanfaatan handphone sebagai media pembelajaran kembali menjadi tabu bahkan dibeberapa sekolah melarang kelas bagi siswa untuk membawa handphone masuk ke dalam kelas.
Padahal di era digital ini, handphone sebagai mobile device telah menjadi teknologi pervasive yang berpengaruh pada setiap sendi kehidupan manusia termasuk bidang pendidikan. Bahkan Kemdikbudristek juga sudah memulai project Transformasi Digital dalam bidang pendidikan salah satu contohnya adalah Massive Open Online Courses ala Kemdikbudristek yang diberi nama Platform Merdeka Mengajar. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya fungsi sebuah handphone yang tidak lagi hanya sebagai alat telpon-telponan saja tetapi menjadi alat selayaknya komputer sehingga dikenal dengan istilah ponsel cerdas atau smartphone.
Fitur yang paling utama pada sebuah smartphone adalah layanan high-speed internet access via wifi dan mobile broadband. Dengan demikian, pengguna smartphone dapat mengunduh beragam aplikasi dari internet. Dari segi fisik, juga mengalami evolusi, seperti layar sentuh, web browser, keyboard, GPS (Global Positioning System), in-built camera dan lain- lain.
Dengan dilengkapi berbagai fitur yang menyerupai sebuah komputer, saat ini panggilan telepon dan pesan teks dapat digunakan dengan memanfaatkan fasilitas jaringan data internet. Beberapa layanan komunikasi gratis diantaranya, WhatsApp, Telegram, Line, dan lain sebagainya. Selain layanan komunikasi, smartphone juga menyediakan aplikasi office layaknya sebuah aplikasi office pada komputer yang memungkinkan penggunanya membuat file baru, editing dan menyimpan file tersebut. Media penyimpanan sudah bukan menjadi masalah bagi sebuah smartphone, penggunanya sudah bisa memanfaatkan penyimpanan data berbasis cloud computing system. Beberapa layanan penyimpanan gratis berbasis cloud yang ditawarkan diantaranya Drop box, Google Drive, Skydrive, Box, Ubuntu One, Sugar Sync, dan lain sebagainya. Belum lagi kemampuan sebuah smarpthone untuk menikmati layanan video, tv dan radio streaming semakin melengkapi fitur yang dimiliki oleh sebuah smartphone.
Kekayaan fitur pada sebuah smartphone inilah yang memunculkan istilah “dunia dalam genggaman”. Konsep portabilitas, mobilitas, ubiquiti dan terhubung (connected), menjadikan berbagai aktifitas termasuk dalam bidang pendidikan dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sebuah smartphone, dan penggunaannya dapat terjadi tanpa batas waktu dan ruang.
Begitu pentingnya peran sebuah smartphone dalam pembelajaran, sampai-sampai smartphone dimasukkan dalam suatu fase evolusi kematangan e-pembelajaran (e-learning) yaitu fase traditional, fase web-based, fase mobile, fase ubiquitous, dan fase seamless. Prof. Ucok (Zainal Hasibuan) dan kedua rekannya menggambarkan fase kematangan proses e-learning seperi gambar berikut (artikel dapat dibaca di url https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/978/1/012028/pdf).
Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa di Indonesia harapan capaian level kematangan e-pembelajaran masih jauh panggang dari api. Grafik tertinggi masih dilevel tradisional (guru ceramah di depan kelas). Semoga saja dengan fantastic project kemdikudristek yaitu Program Guru Penggerak dan Program Sekolah Penggerak di 2024 nanti sim salabim abra kadabra sudah masuk ke level Seamless Learning (tidak ada salahnya untuk bermimpi….hehe).
Untuk lebih menyemangati mimpi kita, penulis akan menuliskan sedikit tentang Mobile Seamless Learning (MSL) sebagai bekal saat kita terbangun nanti.
Secara harfiah Seamless berarti kontinuitas yang berlangsung secara halus. Istilah Seamless Learning pertama kali tidak dikaitkan dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, baru pada tahun 2006, Chan dan kawan-kawan mendefenisikan Seamless Learning sebagai kontinuitas dalam pembelajaran dengan berbagai skenario yang menggunakan perangkat bergerak. Sedangkan penekanan dari Seamless Learning adalah, menudukung siswa untuk mengoptimalkan pengalaman belajar dan kepedulian mereka terhadap pengalaman yang abstrak dan yang konkrit.
Seaw dan rekan-rekannya (2008) menjelaskan bahwa harus ada enam komponen dari suatu Seamless Learning, yaitu space, time, context, community, cognitive tools, dan artifacts. (1) Space berarti eamless learning mendukung siswa agar dapat bergerak secara lancar dan kontinyu antar ruang yang berbeda secara fisik dan virtual. (2) Time, waktu memegang peranan penting dalam mengembangkan sebuah pengamatan. Boleh jadi pengambilan data secara fisik dilakukan pada waktu bersamaan dalam konteks yang sama pula, misalnya dengan mengambil data di museum atau kebun binatang. (3) Context. Desain konteks sangat berpengaruh pada proses pembelajaran. Misalnya, pengambilan data dapat dilakukan dalam konteks formal di sekolah, dan kontinuitas dari pembelajaran ini dilakukan secara informal di luar sekolah. (4) Community. komunitas dalam lingkup Seamless Learning terdiri atas siswa, pendidik dan domain expert. (5) Cognitive Tools. Alat yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, seperti smartphone. Fitur smartphone yang digunakan umumnya untuk merekam data, mengambil gambar, mengunggah data ke online portal, dan lain sebagainya. Dan terakhir (6) Artifacts dimana objek berupa hasil kerja siswa yang dihasilkan dalam proses pembelajaran.
Dalam perjalanannya seamless learning pun berkembang dengan memanfaatkan perangkat mobile (smartphone) sehinggan diistilahkan menjadi Mobile Seamless Learning (MSL). Mobile Seamless Learning (MSL) merupakan dampak daripada perkembangan teknologi yang mengubah paradigma dalam pendidikan, pembelajaran berkembang sudah di luar konteks pembelajaran tradisional pada umumnya. Sehingga menjadikan tantangan pendidikan dalam era digital ini adalah bukan lagi hanya berfokus pada konten apa yang akan dipelajari namun telah berkembang menjadi bagaimana dan kapan pembelajaran tersebut terjadi. Belajar mengajar tidak lagi terbatas di kelas, namun pembelajaran dapat terjadi kapan dan dimana saja tanpa terikat waktu dan ruang. Keberadaan perangkat bergerak seperti smartphone inilah yang mendukung pembelajaran diluar konteks tersebut.
Menurut Looi dan kawan-kawan (2009), portabilitas dan fleksibilitas dari sebuah perangkat bergerak sangat berpotensi mendukung peralihan pedagogi dari pembelajaran berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dalam hal ini, pendidik bukan lagi satu-satunya sumber belajar, namun pendidik bertindak sebagai fasilitator dan partner dalam belajar.
Rogers dan Price (2009) mengemukakan beberapa keunggulan menggunakan teknologi bergerak dalam implementasi Seamless Learning, yakni: dapat meningkatkan motivasi siswa; meningkatkan partisipasi siswa dalam aktifitas belajar dan mengembangkan proses sosial dan kognitif siswa; membuka wawasan siswa terhadap berbagai bentuk informasi. Mereka menyimpulkan bahwa ada tiga tantangan dalam mendesain Seamless Learning dengan menggunakan teknologi bergerak, yaitu: 1) menghindari informasi yang berlebih, 2) menghindari apek yang dapat menyebabkan fokus perhatian siswa teralihkan oleh perangkat tersebut, 3) memahami kendala dalam mendukung kolaborasi siswa yang terjadi secara alami dalam kaitan konteks sosial.
Pentingnya pemahaman bagaimana proses interaksi sosial dapat berimbas pada situasi pembelajaran berbasis kolaborasi yang terjadi pada skenario Seamless Learning. Proses socio-affective tersebut menjadi semakin penting ketika kendala lingkungan belajar secara fisik dan sosial yang berbeda terjadi pada konteks, tempat dan waktu yang berbeda. Pada intinya, bagaimana pendidik dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam interaksi sosial yang kompleks dengan menggunakan berbagai jenis peralatan termasuk digital dan nondigital dalam meningkatkan aktifitas belajar (Otero dkk, 2011).
Wong dan Looi (2011) membuat 10 dimensi Mobile Seamless Learning environment yaitu; (1) MSL1: mencakup pembelajaran formal dan informal, (2) MSL2: mencakup pembelajaran yang bersifat personal/pribadi dan sosial, (3) MSL3: pembelajaran yang terjadi dengan melintas waktu, (4) MSL4: pembelajaran yang terjadi dengan melintas lokasi, (5) MSL5: akses pengetahuan berbasis ubiqitous (sebuah kombinasi dari context-aware learning, augmented reality learning, and akses secara ubiqitous terhadap sumber belajar yang berbasis daring atau online) , (6) MSL6: mencakup dunia digital dan non digital, (7) MSL7: Menggabungkan penggunaan berbagai tipe perangkat, (8) MSL8: Seamless dan peralihan yang cepat antar beberapa learning tasks (seperti data collection + analysis + communication), (9) MSL9: sintetis pengetahuan (pengetahuan sebelumnya dan sekarang serta multiple levels dari keterampilan berfikir dan / atau pembelajaran multidisiplin), dan (10) MSL10: mencakup multiple pedagogical atau model aktifitas belajar (difasilitasi oleh pendidik).
Menurut Wong (2012), visualisasi MSL yang ada pada gambar tersebut merupakan gambaran ekologi dari MSL yang menempatkan siswa sebagai pusat belajar atau learner-centric. Penempatan siswa sebagai learner-centric bukan berarti mereka merupakan pusat perhatian pendidik semata, namun merupakan pusat penghasil pengetahuan yang terjadi pada berbagai konteks dalam multidimensi ruang pembelajaran. Dalam hal ini, MSL adalah bukan hanya tentang bagaimana pembelajaran dimana saja dan kapan saja, namun pembelajaran adalah sesuatu yang terjadi secara terus menerus yang lintas konteks.
Telah banyak hasil-hasil penelitian terkait Mobile Seamless learning yang telah dipublikasikan. Penulis tidak akan bercerita Yang terpenting saat ini adalah bagaimana para pendidik berniat akan memulai dan para Instructional Designer akan membantu para guru mewujudkan niatnya tersebut. Tanpa ada kordinasi dan kolaborasi antara dua jabatan ini tentulah harapan capaian level kematangan e-pembelajaran sulit terwujud, jangankan di 2024 bahkan di 2042 pun bakal tidak mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Chan, T. Dkk. (2006). One-to-one technology-enhanced learning: An opportunity for global research collaboration. Research and Practice in Technology Enhanced Learning, 1(1), pp.3- 29.
Looi, C.-K. Dkk. (2009) Leveraging Mobile Technology for Sustainable Seamless Learning: a Research Agenda“. British Journal of Educational Technology 41 (2): pp.154–169.
Otero, N. Dkk. (2011) ‘Challenges in designing seamless-learning scenarios: affective and emotional effects on external representations’, Int. J. Mobile Learning and Organisation, Vol. 5, No. 1, pp.15–27.
Rogers, Y. and Price, S. (2009) ‘How mobile technologies are changing the way children learn’, in A. Druin (Ed.), Mobile Technology for Children. Morgan Kaufmann, pp.3–22.
Seow, P. Dkk. (2008).Towards A Framework for Seamless Learning Environments. Proceeding ICLS'08 Proceedings of the 8th international conference on International conference for the learning sciences - Volume 2 Pages 327- 334.
Wong.L.-H.(2012). A Learner-centric View of Mobile Seamless learnning. British Journal of Educational Technology. Vol 43,No.1. doi:10.1111/j.1467-8535.2011.01245.x
Wong.L.H and Looi. C.-K.(2011). What Seams Do We Remove in Mobile Assisted Seamless Learning? A Crtical Review of The literature. Computers & Education. 57.4.2364-2381
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak