Penulis: Jaryono*
Pembelajaran daring
selama pandemi sejak awal tahun 2020 hingga kini dipenghujung tahun 2021 masih
menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Topik ini menarik untuk diangkat baik
dari sudut pandang siswa, guru, ibu rumah tangga, bahkan pejabat publik bidang
pendidikan dan apalagi pengamat pendidikan. Semua pihak mempunyai keluhan dan
argumentasi yang “seru” serta “di luar dugaan” yang belum atau tidak akan
pernah kita temui seandainya tidak ada pandemi seperti sekarag ini.
Namun
demikian, dari banyak pihak yang terlibat dan terdampak dari pembelajaran daring,
ada beberapa keluhan yang menjadi aspek krusial dan pokok perhatian. Pertama, perbedaan yang signifikan penerapan
pembelajaran daring antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Cerita jamaknya,
orang tua yang mempunyai dua orang anak atau lebih yang bersekolah dilembaga
yang berbeda, ada yang bersekolah di sekolah negeri dan ada yang bersekolah di sekolah
swasta. Menurut orang tua, anak yang bersekolah di sekolah swasta proses
pembelajaran daring lebih terorganisasi. Bahkan saat kondisi sudah diperbolehkan
PTMT (Pembelajaran Tatap Muka Terbatas), sekolah swasta sudah merancang dan
mengorganisasi pembelajaran tatap muka dengan berbagai inovasi baik media
maupun model pembelajaran. Tidak sedikit sekolah swasta yang berani
berlangganan atau membeli LMS (Learning Management System) yang dapat
digunakan secara mandiri di sekolah. Sementara sekolah negeri, pembelajaran
secara daring dilakukan dengan tidak terdesain secara baik dan dan terkesan
insidental apa adanya.
Kedua, kemampuan finasial orang tua siswa.”lha
kok bisa!!! emang ada korelasi antara isi dompet orang tua dengan keefektifan
pembelajaran daring??? Mana yang lebih penting, perangkat pembelajaran atau isi
dompet orang tua siswa??”. Jelas terkait, kemampuan finansial orang tua secara
krusial mempunyai peran terhadap ketersediaan perangkat pembelajaran. Jamak
ceritanya seperti ini; orang tua yang mampu secara finansial dapat menyediakan
lebih banyak variasi sumber belajar mulai seperti Personal Computer
(PC), laptop, handphone, smartphone, jaringan internet, sampai
berlangganan provider “bimbel” online partikelir yang jelas berbayar. Semakin
tebal dompet orang tua, semakin “berkelas” fasilitas perangkat yang dimiliki oleh
siswa. Orang tua yang mampu juga dapat mendatangkan tutor untuk mendampingi
pembelajaran siswa di rumah baik untuk mata pelajaran utama maupun yang
bersifat pendukung dan rekreatif, misalnya les piano. Sementara di pihak lain,
orang tua kelas “dompet tipis”, kesulitan untuk menyediakan perangkat
pembelajar daring bagi putra-putrinya. Kalaupun dipaksakan mampu membeli, hanya
dapat memfasilitasi satu smartphone bagi dua atau tidak putra-putrinya.
Andaikata smartphone dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti “gedang
goreng” tentu orang tua akan mencacah smartphone untu anak-anaknya. Tetapi
karena tidak mungkin, maka yang dilakukan adalah memanfaatkan smartphone
secara bergiliran. Sialnya, jadwal sekolah daringnya berbarengan dalam satu
waktu. Sialnya lagi, smartphone sudah tersedia tapi pulsa paket data tidak
punya.
Ketiga, kreatifitas guru. Dilihat dari sudut
pandang manapun, peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran daring. Di
masa normal saja, kompetensi guru kerap menjadi sorotan, apalagi di masa
pandemi. Pada masa pembelajaran daring seperti saat ini, seorang guru tidak
hanya diharuskan menguasai materi pembelajaran, akan tetapi juga harus menguasai
perangkat TIK, dan menyampaikan materi secara menarik. Dikotomi pun terjadi,
penulis istilahkan saja menjadi kelompok guru kreatif dan kelompok guru tidak
kreatif. Kelompok guru kreatif tetap bisa menyajikan pembelajaran yang efektif
dan menarik minat dan perhatian siswanya. Para guru yang kreatif juga tidak
akan membiarkan siswanya “menganggur” di rumah tanpa ada proses belajar. Guru
kreatif akan membuat muridnya belajar meskipun secara mandiri dan dengan
caranya sendiri (asyncronous) melalui media atau sumber belajar yang
telah disiapkan oleh guru. Hal-hal seperti itu tidak terjadi pada kelompok guru
yang tidak kreatif apalagi didukung dengan ketidakmampuan dalam pemanfaatan
TIK. Dampaknya, pembelajaran daring tidak tidak berlangsung setiap hari, guru hanya
sebatas pemenuhan tugas mengajar dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa.
Akhirul
kalam, era
pandemi merupakan masa yang sulit bagi pendidikan. Tapi sebenarnya kesulitan
ini bisa menjadi momentum batu loncatan bagi peningkatan mutu pendidikan. Guru
yang dulu “anti” teknologi sekarang Tuhan YME sendiri yang memecut mereka untuk
“melek” digital melalui mahlukNYA yang bernama Covid-19.
Tangerang – Banten, Desember 2021
*Penulis berprofesi sebagai Analis Mutu Pendidikan di LPMP Provinsi Jawa Timur
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak