Latar Belakang
Program
Bimbingan dan Konseling (BK) Sekolah di Indonesia secara umum masih perlu
pembenahan. Berbagai faktor memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak
langsung terhadap kondisi program BK di
sekolah-sekolah Indonesia. Diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
lemahnya program BK adalah faktor SDM guru BK (seperti: latar belakang
pendidikan dan karakter), sistem, iklim dan budaya sekolah.
Guru
BK sebagian mereka berlatar belakang
pendidikan Sarjana Strata 1 FKIP non BK.
Simpulan tersebut diantaranya didukung data hasil identifikasi guru BK yang
mengikuti PLPG di Rayon 13 FKIP UNS
sejak tahun 2008-hingga 2011, rata-rata
mereka yang berlatar S1 BK berkisar
antara 30-35%, sisanya adalah S1 non BK (Sutarno, 2009). Faktor lain yang
berpengaruh terhadap rendahnya kualitas program BK adalah rendahnya karakter
yang dimiliki guru BK seperti integritas, inovatif dan kreativitas,
professionalitas, kerja keras, sehingga dalam
menjalankan tugas dan fungsinya belum optimal. Kondisi ini dapat dilihat
dari produk dari perencanaan, pelaksanaan maupun hasil dari suatu program BK di
sekolah yang dari tahun-ke tahun berikutnya tidak ada perubahan yang
signifikan. Mereka mensikapi dan memaknai program BK sebagai kegiatan rutin dan
monoton. Di beberapa sekolah di suatu wilayah, penyusunan program BK dilakukan
secara bersama dalam forum Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) yang
hasilnya diterima sebagai model program BK. Model program tersebut selanjutnya
diterapkan di sekolah masing-masing, yang tentunya belum sejalan dengan visi,
misi, dan tujuan, serta kebutuhan sisiwa di sekolah masing-masing. Guru BK juga
nampak kurang menunjukkan sikap profesionalitas mereka, yaitu memiliki komitmen
untuk selalu berupaya mengembangkan diri melalui praksis BK di sekolahnya
maupun melakkan kajian-kajian ilmiahnya. Salah satu indicator kurang memiliki
sikap profesionalan ini dapat dilihat dari aktivitas mereka saat “mengikuti”
kegiatan ilmiah ke-BK-an seperti seminar, workshop dan sejenisnya. Pada saat
mengikuti kegiatan tersebut sebagian besar mereka lebih berorientasi pada
keinginan mendapatkan “sertifikat” alih-alih pengembangan kompetensi diri dan
peningkatan profesionalitas di bidangnya. Perolehan atau pengumpulan sertifikat dari kegiatan ilmiah tidak lain
dalam upaya mereka untuk memenuhi persyaratan kelengkapan portofolio
program sertifikasi guru pada saat itu.
Kondisi tersebut ditangkap sebagai peluang
oleh lembaga-lembaga pelatihan yang tidak bertanggung jawab untuk berjualan sertifikat dengan membayar tanpa adanya proses
pendidikan dan pelatihan yang sesungguhnya. Fenomena ini dijumpai saat para
assessor memverifikasi dokumen atau portofolio sertifikasi guru, termasuk guru BK.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa program BK di sekolah belum memenuhi
harapan SNPI khususnya standar mutu, proses, dan pengelolaannya. Begitu luas
perihal Program BK, diantara sisinya yang menarik untuk dikaji adalah struktur
program layanan perencanaan individual siswa. Program ini nampak belum banyak
tersentuh oleh para konselor di sekolah Indonesia pada umumnya.
Individual
Learning Plan (ILP)
Perencanaan
belajar individual (Individual Learning Plan “ILP”) adalah “a format
that identifies what is to be achieved and looks toward the future” (Spear G.L,
2000). Spear mempertentangkan antara Learning Record (LR) versus Learning Plan. Learning Record diistilahkan pula sebagai Traditional Four
Year Plan yaitu A format that serves as
a learning record and looks toward the past (Lampiran 1: Contoh format LR);
sedangkan Individual Learning Plan sebagaimana dedefinisikan di atas (Lampiran
2: contoh format ILP). ILP merupakan salah satu dari struktur program BK di
sekolah. Muro dan Kottman (1995) mengemukakan struktur program bimbingan
diklasifikasikan ke dalam empat jenis layanan,
yaitu: Layanan dasar bimbingan, Layanan responsif, Layanan perencanaan
individual, dan Layanan dukungan sistem.
Klasifikasi tersebut selanjutnya digunakan dalam penyesusunan struktur program
BK di sekolah-sekolah Indonesia baik untuk jenjang SLTP maupun SLTA (Ditjen
PMPTK, 2007). Struktur program Layanan perencanaan individual dalam struktur
program BK diartikan sebagai proses bantuan kepada siswa agar mampu merumuskan
dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa depannya
berdasarkan pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di
lingkungannya. Program layanan ini di
sekolah bertujuan untuk membantu siswa agar (1) memiliki pemahaman tentang diri
dan lingkungannya, (2) mampu merumuskan tujuan, perencanaan, atau pengelolaan
terhadap perkembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar,
maupun karir, dan (3) Dapat melakukan kegiatan berdasarkan pemahaman, tujuan,
dan rencana yang telah dirumuskannya.
ILP
memberikan tiga manfaat bagi para siswa:
(1) menjadi benchmarks prestasi akademik, (2) memberikan perhatian pada siswa
apa yang terjadi padanya di luar gedung
sekolah; dan (3) memberikan suatu proses dan produk yang dapat membuka peluang
untuk mendapatkan pendidikan dan karir
di waktu mendatang (Spear G.L, 2000). Program ini dipersiapkan bagi para siswa
untuk selalu mengorientasikan belajarnya di masa depanya. Spear G.L (2000) mengembangkan tujuan belajar
yang berorientasi masa depan ke dalam tiga domain yaitu: rencana tindak
akademik (seperti: perencanaan studi, prestasi, kelulusan, dan sejenisnya);
rencanan tindak karir (seperti: perencanaan kelompok bidang pekerjaan,
perencanaan studi, pengalaman, pendidikan dan sejenisnya); dan rencana tindak
personal/sosial (seperti dalam berhubungan dengan peer, keluarga dan
teman, organsisai, masyarakat dan
sejenisnya).
Rasional
program ILP dicanangkan di sekolah, karena program ILP memberikan berbagai manfaat bagi siswa khususnya, dan
bagi guru dan sekolah serta orang tua pada umumnya. Spear (2008) menyatakan
bahwa ILP
dapat mereduksi adanya kegagalan-kegagalan seperti: kegagalan untuk putus
sekolah, kegagalan untuk tidak terhubung dengan tujuan pendidikan di pergguruan
tinggi; kegagalan untuk terhubung dengan orang dewasa; dan kegagalan untuk masa transisi ke lingkungan
baru (Spear, 2008). Spear juga menyatakan bahwa ILP bermanfaat bagi siswa
diantaranya adalah: (1) Siswa akan bertanggung jawab terhadap masa depan
mereka; (2) Siswa dan orang tua
mendapatkan wawasan tentang pertumbuhan dan perkembangannya; (3) Orang tua
merasa lebih inform dan terlibat dalam perkembangan anaknya; (4) Siswa dan
orang tua termotivasi untuk terlibat dalam perencanaan untuk pasca-sekolah; (5)
Kecemasan siswa terhadap tujuan sekolah dan masa depan berkurang; dan (6)
Terjalin dan terkembangkan hubungan
antara sekolah, orangtua, dan siswa untuk memastikan keberhasilan akademik. Sedemikian
banyak manfaat ILP bagi siswa orang tua, guru dan sekolah disatu sisi, namum di
sisi lain program tersebut belum pula mendapatkan perhatian di sekolah-sekolah
khususnya di sekolah tingkat pertama (SMP atau MTs) di Indonesia.
Hasil
survei sementara mengenai pemrogram ILP di sekolah dengan jumlah responden 103 guru BK, 60 konselor diantaranya adalah
konselor atau guru BK SMP dan MTS, dan
43 konselor SMA dan SMK. Rerata masa
kerja mereka sebagai guru BK 8,4 tahun.
Mereka menjadi guru BK di wilayah Dinas
Pendidikan kabupaten/kota Purwodadi, Sragen, Boyolali, Klaten, Temanggung,
Wonosobo, Banjarnegara dan Surakarta) sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1. Pelaksanaan
Program Perencanaan Individual Menurut Guru BK SMP, MTs dan SMA, SMK di 8
Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (N=93, dengan rata-rata masa kerja 8
tahun sebagi guru BK)
No |
Lembaga Sekolah |
f |
Melaksankan ILP |
|||||
Ya |
Tak terprogram |
Tidak |
||||||
f |
% |
f |
% |
f |
% |
|||
1 |
SMP dan MTs |
60 |
1 |
2 |
9 |
17 |
50 |
83 |
2 |
SMU & SMK |
43 |
4 |
12 |
9 |
27 |
20 |
61 |
Jumlah |
103 |
5 |
5 |
18 |
20 |
70 |
75 |
Berdasarkan
hasil studi awal sebagaimana data Tabel 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa
terdapat 5 orang guru BK (1 guru BK SMP dan 4 Guru BK SMA dari 93 orang )
menyatakan telah melaksanakan program
layanan ILP bagi siswa; 9 orang guru BK
SMP/Mts dan 9 orang guru BK SMA/SMK dari 103 responden merasa telah
melaksanakan layanan ILP, namun tidak terprogram secara utuh; dan 50 guru BK
SMP/MTs dan 20 guru BK SMA/SMK dari 103 responden tidak melaksanakan atau belum
mengetahui apa itu program ILP atau layanan perencanaan belajar individual
siswa. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar guru BK belum
melaksanakan program ILP. Bilamana ada sebagian kecil mereka yang telah
melaksanakan itupun merupakan bagian atau potongan-potongan dari program layanan
ILP alih-alih sebagai suatu kesatuan program yang utuh, sistematis dan yang
dilaksankan secara sistemik.
Ada
beberapa rasional atau sebagai meta analisis yang dapat dijelaskan mengenai
hasil survei tersebut. Pertama, program perencanaan individual siswa telah
tercantum pada “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Pada Jalur
Pendidikan Formal” yang diterbitkan Ditjen PMPTK Depdiknas. 2007. Bila
dicermati salah satu acuan dari rambu-rambu penyelenggaraan BK di sekolah
tersebut adalah South Dakota Comprehensive School Counseling Model
“SDCSCM” (Duncan, 2006). Dalam
rambu-rambu tersebut dicantumkan salah
satu diantara 4 struktur program BK di sekolah adalah perencanaan individual;
sedangkan di dalam SDCSM di bagian XI terdapat jenis layanan Individual
learning plan. Bila analisis ini, diasumsikan benar adanya, maka dari sisi SDM
BK di sekolah yang menjadi responden tersebut
(maupun yang tidak menjadi responden) ketika dalam masa perservice
training (selama masa studinya sebelum tahun 2007) kemungkinan besar isi
kurikulumnya S1 mereka belum memuat program perencanaan individual. Ini berarti
bahwa bagi mereka yang bukan sarjana BK tentu saja jelas tidak memiliki kompetensi akademik yang
memadahi khususnya dalam program layanan perencanaan inidvidual, bagi merekapun
yang berlatar sarjana BK tamatan tahun 2000-an kemungkinan belum pula tercantum
secara eksplisit atau implisit tentang subtansi program perencanaan individual
dalam kurikulum yang mereka tempuh. Kedua, program perencanaan individual,
tentunya telah disosialisaikan setelah tahun 2007, barangkali diantara sebagian
besar mereka belum mendapatkan sosialisasi dari pihak yang berkompeten.
Terlebih
lagi para guru BK di sekolah cenderung
kurang memiliki komitmen untuk mengembangkan diri termasuk
menembangkan program-program BK di sekolahnya melalui penelitian dan kajian-kajian ilmiah di bidang
ke-BK-an. Kondisi ini diperparah lagi oleh sistim, iklim dan regulasi
penyelenggaraan program BK di sekolah yang jauh dari karakteristik profesional.
Peran dan fungsi guru BK sebagai pendisiplin siswa, mengatasi problem-problem siswa, pembina osis, pengajar mata pelajaran
seni-kria, pengisi jam kosong saat guru mata pelajaran berhalangan hadir, dan
sejenisnya adalah indikasi belum profesionalnya penyelenggaraan program BK di
sekolah.
Meta
analisis terhadap hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa belum
terselenggarakannya program ILP di sekolah menjadi wajar terjadi, meskipun dari
sisi konsep, tujuan dan manfaatnya relevan adanya dan mampu untuk mendukung
keberhasilan studi siswa.
ILP
selalu diorientasikan pada kesuksesan siswa di masa depan. Dalam konteks
orientasi masa depan dapat dikonstruksi multi-dimensional multiple-step future
orientation models (model multi demensi
dan multi langkah orientasi masa depan). Model ini pada awalnya dikembangkan
oleh Nurmi (1989, 1991). Model ini
terdiri tiga komponen yaitu: motivation, planning, and evaluation. Oleh
sebab itu, dalam proses ILP para siswa hendaknya ditumbuhkan motivasinya agar
sukses di masa depan. Cara memotivasi salah satunya dapat dilakukan melalui
pelatihan penumbuhan motivasi. Menurut Packkard (2003) mentoring (pelatihan)
dapat secara positif berpengaruh
terhadap motivasi pilihan karir murid.
Oleh sebab itu, ILP perlu dilakukan dalam upaya memberikan pengaruh
terhadap rintisan karir melalui penyiapan diri dalam belajar secara terprogram.
Bilamana siswa telah tumbuh motivasinya dapat diikuti dengan penyususunan ILP
dan dilanjutkan dengan pelaksanaannya. Selama proses implementasi ILP, para
siswa bersama dengan guru dan atau konselor, beserta orang tua akan selalu
memonitor dan mengevalusi perkembangan keberjalanannya program tersebut.
Seginer,
Nurmi, and Poole (Seginer, Nurmi, & Poole, 1991; Seginer, 1995, 2000)
mengembangkan model Nurmi (1989, 1991)
tersebut dengan mencantumkan tiga
komponen yaitu motivasi, kognisi, dan tingkah laku serta hubungan antara
ketiganya yang berkait dengan orientasi masa depan (Gambar 1).
Gambar 1. The future orientation thre component model
Berdasarkan
model sebagaimana Gambar 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa untuk dapat sukses
di masa depan, individu harus memberdayakan tiga komponen yaitu motivasi,
kognisi dan representasi (pengejawantahan) dalam bentuk berperilaku riil.
Komponen motivasi berkait dengan masa depan dapat diartikan sebagai dorongan
dari dalam diri seseorang untuk bertindak agar mencapai sesuatu yang diinginkan
di waktu mendatang. Kemampuan memotivasi merupakan keterampilan seseorang
memberikan dorongan baik kepada orang maupun dirinya sendiri, sehingga ia atau
dirinya melakukan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen motivasi
terdiri dari value, ekspektansi, dan control diri. Value atau nilai diri yaitu sesuatu yang
berarti dan berharga bagi kehidupan individu. Value ini harus dimengertikan dan
dipahamkan terlebih dahulu pada fase persiapan ILP. Demikian pula aspek
ekspektansi dan kemampuan mengendalikan diri
menjadi bagian penting dalam persipan
proses melaksanakan ILP. Berkait dengan komponen motivasi, DuBrin (2009)
menyatakan bahwa untuk memotivasi dapat dilakukan dengan empat strategi: (1)
What’s In It For Me (WIIFM): apa gunanya buat saya?; (2) Penciptaan kebutuan;
(3) Penetapan tujuan; dan (4) Penciptaan harapan.
Komponen
kognitif dalam aspek orientasi masa depan,
para peneliti telah tertarik pada tematik masa depan. Komponen kognitif dalam
model tersebut mempresentasikan orientasi masa depan dalam
dua demensi yaitu content (isi) dan valensi. Isi atau content memuat variasi domain kehidupan yang mana individu
mengkonstruk untuk masa depannya,
sedangkan valensi didasarkan pada asumsi
bahwa individu berhubungan dengan masa depan dalam term approach and avoidance
atau sebagai ekspresi harapan dan
ketakutan. Individu dalam fase persiapan
ILP juga harus dimengertikan atas komponen kognitif tersebut yang berkait dengan apa harapan untuk menjadi “sukses” dan ketakutan
tidak menjadi apa atau “kegagalan” apa yang harus dihindari agar tidak terjadi
di waktu mendatang.
Komponen
behavior (tindakan) dalam model tersebut memuat dua aspek yaitu: mengeksplorasi
pilihan masa depan dengan cara mencari nasihat, mengumpulkan informasi; dan
berkomitmen untuk mencapainya. Istilah komitmen disini diartikan sebagai
tindakan atau upaya individu secara terus menerus tanpa putus asa untuk
mewujudkan tujuan di masa depannya.
Bilamana,
model tersebut diaplikasikan dalam ILP maka yang harus dilakukan adalah
penyiapan siswa untuk menginternaslisasi 3 komponen tersebut. Tiga komponen
tersebut dapat dimaknai sebagai soft skills individu yang diperlukan
dalam menjalankan ILP. Proses penumbuhkembangan soft skills ini pada individu
dapat dilakukan melalui program pelatihan dalam konteks penyiapan ILP. Program penyiapan ini dapat dikatakan sebagai
fase awal dalam ILP.
Fase
kedua, adalah fase operasionalisasi atau
pelaksanaan ILP. Dalam fase pelaksanaan
ini memuat dimensi sasaran, isi, waktu strategi dan proses, serta seting tujuan
(goal setting). Demensi sasaran, berkait dengan siapa individu yang
hendak dikenai ILP, dan siapa saja yang secara signifikan ikut serta
menjalankan dan bertanggung jawab atas keberlangsungan program ILP tersebut. Misalnya, bilamana penerapan program ILP di SMP, maka
yang menjadi sasaran adalah seluruh siswa, sedangkan orang yang signifikan
terlibat adalah kepala sekolah, guru/wali kelas, konselor, dan orang tua siswa.
Demensi isi, sebagaimana telah dikemukakan
di atas yaitu memuat variasi domain kehidupan yang mana individu
mengkonstruk untuk masa depannya.
Misalnya, demensi isi bagi siswa antara lain memiliki keterampilan belajar dan
memanaj waktu belajar, prestasi akademik
yang optimal, melanjutkan studi yang dicita-citakan, keterampilan
merintis karir sesuai dengan harapan dan sejeninsnya. Demensi waktu, berkenaan
dengan periode waktu ILP dioperasionalkan. Periode waktu pelaksanaan ILP dapat
dibedakan atas jangka pendek, menengah dan panjang yang setiap periodenya
waktunya relatif sesuai kebutuhan. Dalam kontek ILP siswa SMP misalnya, periode
waktu dapat dikategorikan menjadi perode 3 bulan/semester untuk jangka pendek,
periode 1-2 tahun untuk jangka menengah,
dan perode 3-4 tahun untuk jangka panjang. Demensi strategi dan proses adalah
demensi yang memuat metode atau teknik, dinamika dan mekanisme sistem kerja
program ILP. Demensi strategi dan proses ini ditetapkan atas dasar hasil dari suatu kajian dan analisis yang
seksama terhadap suatu metode yang
dipandang memiliki pengaruh efektif
terhadap suatu program dalam hal ini adalah program ILP. Oleh sebab itu, dalam
demensi ini pemilihan strategi hendaknya didukung oleh kajian teoritik dan
hasil uji empiris atas keberhasilanya. Pemilihan strategi untuk diintervensikan
dalam proses program ILP menjadi pilihan yang harus dilakukan secara kritis dan taktis.
Terapi Berfokus
Solusi
Strategi aplikasi Terapi Berfokus Solusi (TBS) merupakan salah satu alternatif yang dipertimbangkan dalam ILP, karena berbagai dasar dan alasannya. Bilamana ILP berorientasi pada masa depan memuat domain sukses belajar atau sukses akademik, sukses personal dan sosial, serta sukses karir, maka metode TBS dapat diaplikasikan sebagai strategi untuk pencapaian kesuksesan tersebut karena ia juga berorientasi pada demensi sukses masa depan.
Terapi berfokus solusi (TBS) sebagai salah satu pendekatan konseling postmodern, diusung oleh beberapa tokoh yang dipeloporan Insoo Kim Berg dan Steve De Shazer sebagai direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga bantuan Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsis, Amerika Serikat pada awal tahun 1980. Pada awalnya, TBS sebagai pendekatan baru untuk terapi singkat (de Shazer, 1982) yang sebagian berasal dari karya Mental Research Institute (Watzlawick, Weakland , & Fisch, 1974 dan Milton Erikson Zeig, 1985 dalam Smock, dkk 2010). De Shazer dkk (1986) mendeskripsikan prinsip yang mendasari TSBS yaitu ''memanfaatkan apa yang dimiliki klien untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan mereka, sehingga membuat hidup mereka memperoleh kepuasan diri (hal. 208). TBS mengasumsikan bahwa klien adalah makhluk potensial, sehat, dan berdaya. Dalam pandangan TBS individu memiliki kekuatan yang aktif yang berarti bahwa itu bukan karena mereka tidak bisa memecahkan masalah tanpa mendapatkan pelatihan tambahan, melainkan mereka memiliki kekuatan yang melekat pada dirinya, sehingga mereka dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah mereka (Kelly; Kim; Franklin, 2008) termasuk dalam ilmplementasi program ILP. Gambar 2 berikut merupakan wujud penerapan TBS di sekolah yang menunjukkan bagaimana pemberdayaan kekuatam klien diperankan.
Gambar 1. Solution
building school (diadaptasi dari Kelly, Kim , dan Franklin C, 2008)
TBS
sebagai teknik terapi dalam membantu klien lebih berorientasi pada masa depan
alah-alih mendasarkan pada masa lalu sebagaimana terjadi pada pendekatan
konseling modern pada umumnya. Ini berarti
bahwa manusia itu kompeten mengatasi problem-problem yang dihadapinya temasuk
didalamnya mampu membuat rencana masa depannya. “Solusi” adalah kata kunci
mengantikan kata “problem” atau “masalah”. Manusia dalam berkehidupan tidak
perlu terpaku pada masalah, namun perlu berfokus pada solusi. Steve DeShazer
mengatakan bahwa untuk menyeleseaikan atau memecahkan suatu problem, kita tidak
seharusnya mengetahui penyebabnya terlebih dahulu.
TBS
tidak berfokus pada pemahaman terhadap masalah sebagai cara untuk berubah,
tetapi lebih berfokus pada pemahaman yang lebih banyak pada bagaimana ke
depan hal-hal yang lebih baik terjadi setelah masalah
terpecahkan. Dalam kontek ILP, problem
belajar siswa di masa lalu tidak menjadi focus perhatian, melainkan lebih berfokus
pada keberhasilan belajar apa saja yang akan diwujudkan di masa depan. DeShazer
juga menegaskan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara problem dengan
solusinya.
Dalam
terapi TBS, klien memiliki tujuan sendiri yang akan ia capai, demikianpun dalam
program ILP siswa menetapkan tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai di waktu
maendatang. Dengan kata lain, dalam TBS pertanyaan mengapa tidak lebih penting
daripada bagaimana. Bilamana pemecahaman
masalah atau perencanaan individu mendasarkan pada latar belakang masalah dan
sumber penyebabnya, maka itu hanya sama dengan Learning Record yang
merupakan suatu format layanan
konvensional yang berupa catatan hasil belajar dan melihat ke masa lalu;
berbeda dengan itu, program ILP merupakan suatu format yang mengidentifikasi
apa yang akan dicapai dan selalu melihat masa depan (Spear, 2000).
Pada
intinya, terapis TBS akan membantu siswa mengembangkan visinya secara jelas dan membantu mereka melihat kehidupan yang lebih baik di masa depannya.
Sebagaimana dalam ILP para siswa diminta untuk merumuskan tujuan (goal setting), kemudian terapis meminta klien untuk mencari
bagian yang diinginkan yang sudah terjadi
sebelumnya dan memperluas pengaruhnya. Proses ini disebut dengan
exeptions (pengecualian).
Dalam
proses terapi, O’Hanlon dalam Corey (2005) megemukan janganlah berlama-lama
menganalisis masalah dan sumber penyebabnya, namun segeralah bergerak dan bertindak dengan memulai upaya menemukan solusi-solusi
dan menyelesaikan atau memecahkan problemnya. Dalam fase ini, pertanyaan
penting yang perlu diperhatikan adalah kekuatan apa yang bisa membantu klien
dan terapis berinisiasi unutk berpindah dari upaya yang berorientasi problem ke
upaya berfokus solusi? Kekuatan itu tidak
terletak pada masa lampau, melainkan pada masa
kini dan masa depan. Pada persepktif masa kini dan masa depan, merupakan
kekuatan yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan yang lebih sehat dan
tujuan-tujuan yang lebih membahagiakan dirinya.
Berdasarkan
inspirasi dari Berg & Miller (1992) dan Walter & Peller (1992),
Prochaska & Neorcross (2003) merangkum tujuh karakteristik tujuan
terapeutik TBS, yaitu hendaknya: (1) Bersifat positif; (2) Mengandung proses;
(3) Memuat ide tentang kurun kini/sekarang; (4) bersifat praktis; (5) Merumuskan tujuan
se-spesifik-mungkin.”; (6) Menekankan pada internal locus of control; dan (7)
Menggunakan bahasa klien. Tujuh karakteristik TBS tersebut layak menjadi acuan dalam operasionalisasi dalam strategi
ILP.
Proses
terapiutik TBS secara keseluruhan mencakup dua aktivitas utama, yaitu (1)
aktivitas menumbuhkembangkang kesadaran (conciusness raising); dan (2)
aktivitas membuat pilihan sadar (choosing).
Dalam proses penumbuhkembangkan kesadaran terapis TBS membantu klien untuk menyadari
kekecualian-kekecualian (exceptions) dari pola-pola problem mereka. Disaat
menemukan kekecualian diharapkan klien memiliki kontro diri terhadap sesuatu yang selama dirasa sebagai
problem yang tak mungkin diatasi dapat
dikurangi. Perkeculian selalu ada dalam kehidupan setiap individu siswa.
Bagi siswa yang sangat sulit memfokuskan diri pada kekecualian yang positif,
terapis bisa mengajukan pertanyaan mukjizat (miracle question). Di samping itu, dalam kontek ILP
penumbuhkembangan kesadaran dapat dimulai pada saat membangun soft skills yaitu
pada fase penyipan program ILP.
Tahap
kedua yaitu membuat pilihan sadar. Pilihan sadar terhadap tujuan-tujuan yang
menentukan masa depan klien. Sejalan dengan semaskin meningkatnya kesadarannya
tentang kekecualian positif, mereka akan bisa membuat pilihan sadar untuk
menciptakan lebih banyak lagi kekecualian-kekecualian yang mungkin diterjadikan
pada dirinya di waktu mendatang.
Implementasi
startegi TBS dalam ILP, dapat dilakuan dengan mengembangkan langkah-langkah
pelaksanaan membangun solusi TBS. Langkah-langkah membangun solusi secara TBS
menurut DeShazer, dalam Prochaska & Norcross (2003) yaitu: (1) Memfokuskan
diri pada tujuan; (2) Sejenak mendengarkan klien membicarakan problem-problem;
(3) Memfokuskan diri pada solusi; (4) Memfokuskan diri pada kekecualian; (5)
Membuat penilaian diantara pilihan sadar dengan spontanitas; (6) Melangkah dari
perubahan-perubahan kecil ke perubahan-perubahan yang lebih besar; (7) Selalu
menyadari bahwa setiap solusi adalah unik; (7) Mengembangkan solosi dari
percakapan; (8) Menggunakan bahasa klien. Berkait dengan langkah tersebut
DeJong & Berg dalam Corey (2005), mendeskripsikan struktur
penumbuhkembangkan solusi yaitu (1) Klien diberi kesempatan untuk
mendeskripsikan problem-problemnya; (2) Terapis bekerja sama dengan klien untuk
segera mungkin mengembangkan tujuan-tujuan yang jelas; dan (3) Terapis
menanyakan kepada klien tentang saat-saat ketika problem-problem klien
terjadi atau ketika problem-problem klien berkurang.
Pada
akhir setiap relasi terapeutik penumbuhkembangkan solusi (solution-building
conversation), terapis memberikan ringkasan umpan balik (summary feedback)
kepada klien. Terapis bersama klien mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai,
dengan menggunakan skala penilaian (rating scale). Hal ini dapat dikerjakan dalam pelaksanaan
program ILP dimana para siswa selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
pencapaian target-target yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu atau
disetiap periode. Selanjutnya, mereka menganalisis dan mendiskusikan dengan
orang yang signifikan dan menindaklanjutinya dengan perencanaan baru untuk
lebih mencapai keberhasilan di waktu berikutnya.
Dalam
TBS, relasi terapiutik siswa di pandang
sebagi ahli (expert). Ia yang
paling mengetahui tujuan-tujuan yang ingin dibangun. Tujuan-tujuan itu selalu
unik buat setiap siswa dan dibangunnya untuk menciptakan hari depan yang lebih
baik; sedangkan konselor sebagai pakar
tentang proses dan struktur terapi, membantu klien dalam membangun
tujuan-tujuan mereka performansi yang lebih baik, lebih menghasilkan solusi sukses. Relasi mendasar pada
perspektif ini adalah suatu kolaborasi (kerja sama) antara dua pakar.
Setiap pakar yaitu klien dan terapis–memberikan andil untuk penumbuhkembangkan
sebuah solusi bersama. Relasi terapis dengan klien ditunjukan untuk meraih
suatu tujuan. Mekanisme relasi dan
kolaborasi seperti tersebut diberlakukan selama proses pelaksanaan program
ILP. Simpulannya adalah bahwa uraian
mengenai apa, bagaimamana, dan mengapa TBS tersebut di atas merupakan alasan
dipilih strategi TBS sebagai alternatif mengimplementasikan ILP di
sekolah. Bukti-bukti empiris mengenai
keberhasilan TBS diterapkan di sekolah, nampaknya menjadi alasan lain yang
dapat mendukung alasan teroritik dipilihnya strategi TBS dalam pengembangan
program ILP.
Penerapan
TBS di sekolah telah tumbuh selama lebih dari 10 tahun terakhir dan terus
menjadi wilayah yang menarik bagi para peneliti, pekerja sosial sekolah yang
berbasis sekolah profesional. TBS telah diterapkan di sekolah dengan sejumlah
masalah, termasuk masalah perilaku dan emosional siswa, masalah akademik, dan
keterampilan sosial (Kelly, Kim , dan Franklin C, 2008). Bahkan Metcaff (1998 dalam Smock, dkk 2008)
menyarankan bahwa dalam penerapan TBS dalam dalam seting kelompok dapat membangkitkan semangat, terutama
ketika bekerja dengan individu yang
sedang berjuang melawan “perilaku di luar-kontrol,'' ---sebagaimana sedang
bermalas-malas untuk tidak bertindak dengan komitmen dalam proses pelaksanaan
ILP di sekolah---
De
Jong dan Hopwood (1996) memberikan gambaran dari hasil studi yang dilakukan
Kiser (1988) yaitu berupa survei periodik (4, 6, 12 dan 18 bulan pasca terapi)
sebagai tindak lanjut untuk menentukan
apakah klien mereka telah mencapai tujuan
atau mengalami kemajuan yang
signifikan. Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat keberhasilannya
mencapai 80%, dengan 65,6% memenuhi
tujuan mereka, dan 14,7% membuat perbaikan yang signifikan. Pada 18 bulan
berikutnya, 86% dari klien dihubungi melaporkan keberhasilan.
Hasil
penelitian kedua yang dilakukan De Jong dan Hopwood (1996) terhadap 275 klien
dalam aplikasi TBS selama
November 1992 sampai Agustus 1993. Studi ini mirip dengan studi Kiser
(1988) yaitu peserta atau klien dihubungi 7 sampai 9 bulan pasca terapi untuk dimintai tanggapannya berkait
dengan penerapan teknik scaling
question di setiap sesi untuk mengukur
kemajuan mereka. Perlu diketahui bahwa scalling question merupakan
teknik andalan dalam TBS yaitu sebagai tools
that are used to identify useful differences for the client and may help to
establish goals as well (Michael S.,
Kelly Johnny S., dan Franklin K.C., 2008). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dari 136 tanggapan peserta, 45% melaporkan mencapai tujuan
mereka, 32% melaporkan beberapa kemajuan ke arah tujuan mereka, dan 23%
pelaporan menyatakan tidak ada kemajuan setelah penghentian terapi. Pada
pengukuran hasil sesi berikutnya ada 141 tanggapan dihitung berdasarkan catatan
sesi terapis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25% melaporkan kemajuan yang
signifikan, 49% melaporkan cukup mengalami kemajuan, dan 26% melaporkan tidak
ada kemajuan. Teknik ini digunakan konselor untuk membantu klien bergerak dari
suatu tahap tujuan ke-tujuan berikutnya atau menuju ke arah langkah-langkah
yang lebih bersemangat dan mudah ditangani (Michael S., Kelly Johnny S., dan Franklin K.C.,
2008). Teknik kedua yaitu coping
question (CQ). CQ designed to elicit information about client resources
that will have gone unnoticed by them (Michael S., Kelly Johnny S., dan Franklin K.C., 2008).
Teknik ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan sumberdaya internal:
keterampilan, kekuatan, kualitas, kepercayaan klien dan kapasitas mereka yang
berguna; dan juga sumberdaya external: relasi yang mendukung, seperti: mitra,
keluarga, teman, dan pendukung yang lainnya.
Dalam
konteks program ILP di sekolah barangkali para siswa sementara ini tidak merasa
adanya problem dalam proses studi mereka. Kondisi tidak merasa adanya problem
tersebut, menurut Bordin dan Pepinsky adalah termasuk satu diantara 6 problem
yang mereka istilahkan problem “no problem”. Pada umumnya para siswa
bukan merasakan adanya masalah dengan
kebiasaan rutinitas belajar mereka dan prestasi belajar mereka; orangtua juga
terbiasa merasa cemas dan kebingungan menentukan pendidikan studi lanjut anak-anaknya. Kondisi
tersebut barangkali, karena hal itu dirasakan oleh hampir semua masyarakat
Indonesia akhirnya dianggap suatu yang harus terjadi atau bukan disikapi sebagai
masalah. Melalui program ILP, problem tersebut dapat dikurangi, karena para
siswa, orang tua dan sekolah (guru dan konselor) secara bersama-sama mendorong
siswa membuat perencanaan secara individual berkenaan dengan prestasi akademik,
dan karir mreka di masa depan. Strategi program ILP dengan berbasis pada TBS
dipandang sebagai suatu alternatif pilihan untuk mengatasi problem-problem
tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan model layanan program perencanaan
individual (ILP) menjadi suatu yang bermanfaat bagi para konselor dan guru
khususnya bagi para siswa dan orang tua. Bagaimana program ILP dikembangkan
menjadi format atau model yang layak, dapat diterima (acceptable) dan memberikan manfaat bagi berbagai pihak
khususnya siswa dan para konselor dan guru di sekolah adalah permasalahan yang
hendak dijawab? Pemaduan
multi-dimensional multiple-step future orientation models (sebagai fase awal
persiapan program ILP) dan implementasi strategi TBS (fase pelaksanaan) nampaknya menarik diadop
untuk dikembangkan sebagai suatu model program ILP.
DAFTAR
PUSTAKA
Corcoran J.
(2005) Building Strengths and Skills: A colloborative approach to
working with client. New York: by
Oxford University Press, Inc.
Ditjen PMPTK Depdiknas. 2007. Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Pada Jalur Pendidikan Formal.
Jakarta: Ditjen PMPTK
Duncan Kelly (2006) South Dakota
Comprehensive School Counseling Model. Souht Dakota: Northern State
University.
Harris G (2009) The Art of
Quantum Planning: Lessons from Quantum Physics for Breakthrough Strategy,
Innovation, and Leadership. San Francisco, Califoria: Berrett-Koehler
Publishers, Inc.
http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html. Judith Kuse. The
Wisconsin Comprehensive School Counseling Program Model
Jackson Paul Z & McKergow Mark
(2002) The Solutions Focus The
simple way to positive change.
London: Nicholas Brealey Publishing
Kelly M S., Kim J S.,
Franklin C. (2008) Solution Focused Brief Therapy in Schools: A
360-Degree View of Research and Practice. New York: Oxford University
Press, Inc
Macdonald A. J. (2007)
Solution-Focused Therapy Theory, Research & Practice. Road,
New Delhi: SAGE Publications
Metcalf Linda (2010)
Solution-focused RTI :A positive and personalized approach to
response to intervention. San Francisco: John Wiley & Sons, In
Michael S. Kelly Johnny S. Franklin
K. C, (2008) Solution–Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of
Research and Practice. New York: Oxford University Press, Inc.,
Muro, James J & Kottman, Terry.
(1995). Guidance and Counseling in the Elementary and Middle Schools. A
Practical Approach. Wisconsin: Wm. C.Brown Communication, Inc.
Parckard B. B-L. (2003) Student
training promote mentoring awarness and action. The career development
quarterly. 51, 335-345
Seginer R (2009) Future
Orientation Developmental and Ecological Perspectives. New York: Springer
Science Business Media
Simon, Joel K. (2010) Solution focused practice in end-of-life
and grief counseling. New York: Springer Publishing Company
Smock S. A., Trepper T. S. ,Wetchler J. L., McCollum E. E.
, Ray R dan Pierce K. (2008). Solution-focused group therapy for level 1
substance abuser. Journal of Marital and Family Therapy, 34, 107–120
Smock S.A.; McCollum E. E. Stevenson dan Michelle L. (2010). The
developing of the solution building. Journal of Marital and Family Therapy,
36, 499–510
Willson Susan B, dan Dobson Michael S. (2008) Goal setting: How
to create an action plan and achieve tour goals. New York: American
Managemen
Artikel ilmiah tersebut adalah tulisan asli dari sahabat kami Dr. Edy Legowo (1957 - 2021). Beliau wafat pada tanggal 14 Agustus 2021 karena Covid-19. Jabatan terakhir beliau adalah Kaprodi Bimbingan dan Konseling pada FKIP Universitas Sebelas Maret "UNS" Surakarta.
Artikel tersebut bisa ada di kami pemilik blog celotehpendidikan.com karena pada sejak tahun 2011 Almarhum bersama kami menempuh pendidikan S3 Bimbingan dan Konseling Sekolah di UM Malang. Pada saat itu beliau menitipkan tugas terakhir mata kuliah Studi Mandiri 3 kepada kami via email untuk diserahkan kepada dosen pengampu.
Sengaja kami unggah kembali tulisan beliau ini dengan satu alasan yakni agar ilmu beliau melalui tulisannya bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ladang amal ibadah beliau hingga akhirat nanti.
Teruntuk Almarhumah.....alfatihah
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak