Sering kita dengar petuah dalam ilmu manajemen “perencanaan yang baik adalah separuh keberhasilan”. Begitu juga dengan guru, harus bisa membuat perencanaan pembelajaran yang baik yang akan diterapkan di kelas. Bayangkan jika guru tidak membuat perencanaan pembelajaran atau hanya copas milik rekan sejawat tentu sangat berbahaya (gak bahaya ta………!!!). Ibarat tentara yang akan berangkat perang tapi tanpa bekal strategi tempur yang mumpuni. Ingatlah petuah Sun Tzhu dalam bukunya Art of War “jika kamu mengenal musuh dan mengenal diri sendiri, kamu tidak perlu takut dengan hasil dari seratus pertempuran”. Dengan kata lain, 99% kemenangan bisa diraih, 1% tergantung takdir Yang Maha Kuasa. Setelah mengetahui kemampuan musuh dan kemampuan pasukan sendiri barulah membuat strategi peran yang efektif dan efisien. Begitu juga dengan guru, jika guru telah mengetahui profil siswa dan sadar akan profil dirinya sendiri maka keberhasilan pembelajaran sudah dapat diprediksi. Tetapi memahami siswa dan diri sendiri saja tidaklah cukup tanpa dilanjutkan dengan membuat perencanaan pembelajaran yang matang.
Perencanaan pembelajaran dirancang untuk memandu guru dalam melaksanakan pembelajaran sehari-hari untuk mencapai Tujuan Pembelajaran (TP). Rencana pembelajaran disusun berdasarkan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP). Perlu diingat bahwa tujuan pembelajaran yang digunakan dalam perencanaan pembelajaran merupakan tujuan pembelajaran yang ada di ATP. ATP antara guru yang satu akan berbeda dengan guru lainnya meskipun mengajar siswa dalam fase (jenjang kelas) yang sama. Oleh karena itu, rencana pembelajaran yang dibuat masing-masing guru pun dapat berbeda-beda, terlebih lagi karena rencana pembelajaran ini dirancang dengan memperhatikan berbagai faktor, seperti karakteristik siswa, kondisi lingkungan sekolah, ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, dan lain-lain. Rencana pembelajaran dapat berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau dalam bentuk modul ajar. Apabila pendidik menggunakan modul ajar, maka ia tidak perlu membuat RPP karena komponen-komponen dalam modul ajar sudah meliputi komponen-komponen dalam RPP atau lebih lengkap daripada RPP.
Guru memiliki keleluasaan untuk memilih dan memodifikasi contoh-contoh perencanaan pembelajaran yang tersedia atau mengembangkan perencanaan pembelajaran sendiri, sesuai dengan konteks, kebutuhan, dan karakteristik siswa. Salah satu model yang dapat digunakan dalam penyusunan perencanaan pembelajaran yaitu Backward Design atau desain mundur yang dikembangkan oleh Grant P. Wiggins (President of Authentich Education in Monmouth Junction – New Jersey) dan Jay McTighe (Director of Maryland Assessment Consortium).
Menurut Wiggins dan McTighe, proses belajar mengajar yang diterapkan oleh guru hendaknya didasarkan kepada hasil kajian yang serius, bukan sekedar karena buku teksnya, metodenya, atau kenyamanan kita dalam menjalankannya. Guru harus merancang pembelajaran yang memberikan peluang terbesar untuk tercapainya tujuan yang disepakati. Dengan kata lain, guru dalam merencanakan pembelajaran memulai terlebih dahulu dengan mengidentifikasi hasil (result) apa yang ingin dicapai oleh siswa. Bukan dimulai dengan materi apa yang akan diajar, melainkan apa yang dapat dipahami dan diaplikasikan siswa dari materi tersebut. Tujuan pembelajaran bukan sekadar memahami konsep X atau langkah Y, melainkan hasil apa yang akan diperoleh siswa jika mereka memiliki pemahaman-pemahaman tersebut.
Wiggins dan McTighe mengemukakan adanya dua jenis fokus dalam perancangan pembelajaran, yaitu: content-focused design dan results-focused design. Kalau guru matematika menggunakan content-focused design, mereka merancang pembelajaran dengan memulai kajiannya dari materi yang akan diajarkan, memilih sumber belajar yang diperlukan, memilih metode yang akan digunakan, dan kemudian berharap agar siswanya belajar. Namun, Wiggins dan McTighe mengkritisi bahwa ketersediaan konten itu tidak serta merta menjamin terjadinya belajar. Mereka mengatakan bahwa rancangan itu tidak boleh didasarkan kepada “hope” saja, tetapi harus betul-betul “by design”. Guru harus merancang tujuan dan bagaimana tujuan itu betul-betul dicapai. Kalau siswa diminta membaca, guru harus jelas apa yang harus dibaca, bagaimana membacanya, apa yang harus dihasilkan dari kegiatan membaca tersebut, kemungkinan bantuan apa saja yang harus diberikan agar maksimal hasil membacanya, bagaimana cara membagikan apa yang sudah dipahami dari bacaan tersebut dan lain sebagainya. Karena itu, Wiggins dan McTighe lebih cenderung untuk menggunakan results-focused design yang menjadi fokus dari Backward Design.
Backward Design terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu: (1) mengidentifikasi hasil yang diinginkan, (2) menetapkan bukti pembelajaran yang memadai, dan (3) merancang pengalaman belajar siswa dan instruksi pembelajaran guru. Wiggins dan McTighe menggambarkan alur backward design seperti berikut.
Jika digambarkan lebih detail bisa dilihat dari gambar berikut ini.
Dari gambar di atas terlihat proses yang dilakukan pendidik dalam menyusun perencanaan pembelajaran (RPP/Modul Ajar). Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah: (1) Memahami tujuan pembelajaran dengan cara terlebih dahulu memahami kompetensi dan konsep/konten kunci yang harus dikuasai siswa. (2) Tentukan strategi asesmennya yang dapat mengukur kompetensi yang dimunculkan siswa ketika mereka sudah mencapainya. (3) Mendesain proses belajar: menentukan metode, menyusun urutan dan mencari sumber materi yang membantu siswa menguasai kompetensi yang dituju.
Akhir kata, meskipun sama-sama jenis profesi tapi profesi guru bukan profesi tukang sulap yang cuku baca mantra sim salabim avada kadavra langsung bisa merubah siswa. Jadi perlu adanya asesmen awal dan perencanaan pembajaran yang baik.
Tetap semangat Bapak/Ibu guru….jangan pantang menyerah untuk mencerdaskan para generasi penerus bangsa.👍👍👍